Padang – Sudah tahun 2025, tetapi wajah perkaderan mahasiswa di banyak kampus Indonesia masih dihantui praktik perpeloncoan. Budaya lama yang seharusnya terkubur bersama kolonialisme ini terus dilanggengkan dengan berbagai dalih, mulai dari solidaritas hingga pembentukan mental.
Padahal, kampus mestinya menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk bertukar pikiran, mengasah nalar kritis, serta mengembangkan potensi akademik maupun non-akademik. Namun faktanya, perpeloncoan masih ditemukan di berbagai level organisasi kemahasiswaan, baik di Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) maupun Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Perpeloncoan kerap muncul dalam bentuk intimidasi, penghinaan, hingga kekerasan fisik maupun nonfisik. Akibatnya, mahasiswa baru kehilangan ruang aman, bahkan menjauh dari organisasi. Dalam sejumlah kasus, praktik ini pernah menimbulkan korban jiwa.
Jejak Sejarah Perpeloncoan
Secara historis, praktik perpeloncoan sudah ada sejak masa kolonial Belanda melalui tradisi ontgroening, yang berarti “menghilangkan warna hijau” sebagai simbol mahasiswa baru yang dianggap belum matang. Tujuannya mengenalkan lingkungan kampus, namun praktiknya lebih banyak berupa olok-olok dan kekerasan.
Istilah “perpeloncoan” sendiri muncul pada masa pendudukan Jepang, dari kata Jawa “pelonco” yang berarti kepala gundul. Sejak itu, istilah ini melekat pada berbagai bentuk orientasi mahasiswa—mulai dari OSPEK hingga nama lain seperti MPLS atau diklat—yang tidak jarang tetap diwarnai kekerasan.
Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa di era Orde Lama, bahkan pernah menulis pengalamannya diplonco dengan cara dibentak, dimaki, hingga diperlakukan seperti binatang. Catatan itu menjadi bukti bahwa budaya perpeloncoan sudah lama dikritisi, namun terus berulang hingga kini.
Cara Primitif di Balik Perkaderan
Realitas di lapangan menunjukkan praktik serupa masih terjadi saat ini. Mahasiswa baru kerap dipaksa mengikuti kegiatan “follow up” atau diklat dengan cara-cara yang justru menjatuhkan mental:
disuruh menyandang sepatu di leher,
dipaksa duduk di lumpur mendengarkan materi,
dibentak-bentak hingga menangis,
bahkan dipermainkan dengan prank yang melecehkan.
Cara-cara primitif ini bukan hanya melukai psikologis mahasiswa baru, tapi juga merusak masa depan organisasi mahasiswa. Banyak yang trauma, enggan aktif, bahkan menyimpan dendam kepada senior. Alih-alih melahirkan kader visioner, pola ini hanya menciptakan siklus balas dendam antarangkatan.
Saatnya Revolusi Kaderisasi
Perkaderan seharusnya tidak lagi dibangun dengan semangat semi-militeristik atau bernuansa kekerasan. Senior mestinya tampil sebagai teladan—dengan prestasi, karya, dan sikap proaktif—bukan sebagai intimidator.
Universitas, organisasi mahasiswa, dan seluruh pihak terkait perlu segera melakukan revolusi sistem perkaderan: mengarah pada pola yang humanis, visioner, serta membebaskan kreativitas mahasiswa baru.
Hanya dengan pola kaderisasi yang sehat, kampus dapat melahirkan insan akademis yang kritis, peka, dan peduli terhadap misi keumatan dan kebangsaan.
Saatnya mahasiswa ditempa dengan gagasan, bukan dengan kekerasan.(REL)
0 Komentar